Pomidor.id – Terus menurunnya minat generasi muda untuk terlibat langsung dalam dunia pertanian mewabah di seluruh dunia. Demikian pula di negara maju seperti Jerman. Banyak generasi milenial di negaranya Angela Merkel itu yang cenderung memilih profesi lain ketimbang bertani.
Banyak faktor yang membuat petani muda Jerman jumlahnya merosot drastis, bahkan jika dibandingkan satu dekade lalu. Beberapa faktor tersebut di antaranya adalah biaya investasi yang tinggi, birokrasi yang rumit, sumber pendapatan yang tidak tetap, jam kerja yang terlalu lama, ancaman perubahan iklim, dlsb.
Data dari Eurostat’s Statistics di tahun 2016, jumlah rata-rata petani di Eropa hanya 11%. Secara prosentase, Austria menjadi negara yang petaninya paling banyak, yakni 22%. Kemudian disusul Polandia (20,3%) dan Slovakia (19%). Jerman sendiri berada di posisi ke-tujuh yang penduduknya berprofesi sebagai penghasil pangan (14%).
Johanna Buntz, salah seorang petani muda Jerman, mengatakan tak mudah menjalani profesi yang kini ditekuninya. Ia meneruskan usaha peternakan babi milik orang tuanya di lahan seluas 110 hektar di Swabia Jura yang terletak di wilayah barat daya Jerman.
Sudah 20 tahun ia mengelola peternakan babi di kampung halamannya itu. Namun usahanya tidak terlalu menguntungkan. Menurutnya, biaya produksi yang tinggi menyulitkan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak.
“Toko daging tempat kami biasa menyuplai hasil ternak, sekarang sudah berhenti membeli. Katanya terlalu mahal dari kompetitor yang lain,” ujar Buntz.
Karena ketiga saudara perempuannya memilih karir pekerjaan yang lain, Buntz adalah satu-satunya yang meneruskan bisnis keluarga. Ia menghabiskan hari-harinya bekerja di ladang dan peternakan milik orang tuanya sejak lulus SMA.
Baca Juga : Tukang Insinyur Impikan Wisata Petik Buah di Kebunnya
Dalam wawancara dengan euractiv.com di sela-sela konferensi pertanian di Berlin, Selasa (4/6), Buntz mengatakan ia sendiri yang memutuskan terjun di sektor pertanian. Tak ada paksaan atau tekanan dari kedua orang tuanya.
Untuk menunjang pekerjaannya, Buntz mempelajari pemasaran dan manajemen pertanian. Saat ini ia tengah memulai transisi pada pertanian organik dan pelan-pelan meninggalkan usaha peternakan babi.
“Bagi perempuan seperti saya, lebih mudah menangani ayam daripada babi yang beratnya bisa mencapai lebih 120 kg,” jelasnya.
Sebagai catatan, Kementerian Pertanian Jerman mengungkapkan kurang dari 10% sektor pertanian dijalankan oleh kaum perempuan. Begitu pula dengan tenaga kerjanya. Jumlah pekerja kaum hawa hanya sepertiga dari keseluruhan tenaga kerja di sektor pertanian.
Untuk sementara ini, Buntz memang mengelola bisnis pertanian dan peternakannya dengan sang ibu. Namun dalam beberapa tahun ke depan usaha turun temurun itu akan ia ambil alih sepenuhnya. Pengalamannya selama ini, ia tidak pernah mengalami diskriminasi gender terkait pekerjaannya. Hanya sekali saja ada yang pernah melihatnya keheranan dan mengambil foto ketika ia tengah mengendarai traktor.
Baca Juga : Institut di Jerman Sukses Budidayakan Tanaman Jahe dalam Greenhouse
Mengambil Alih Usaha Pertanian Keluarga Berat di Ongkos
Ketika mulai mengambil alih usaha pertanian milik keluarga, banyak petani muda yang dihadapkan pada keharusan investasi dalam nilai yang sangat besar. Hal ini pula yang dialami Buntz. Ia musti cermat betul menghitung investasi yang diperlukan untuk transisi dari usaha murni milik keluarga menjadi perusahaan yang memiliki rencana jangka panjang minimal hingga 20 tahun ke depan.
Untuk mendorong kaum muda menjadi usahawan tani, Uni Eropa menawarkan subsidi bagi mereka yang berusia di bawah 35 tahun. Selain pemberian subsidi reguler secara langsung, petani muda juga menerima bantuan tambahan € 44 (Rp 708.000) per hektar. Ini berarti ada sekitar € 48 juta (Rp 772 milyar) subsidi yang digelontorkan khusus bagi petani muda Jerman.
Walau pun kelihatannya banyak, jumlah itu hanya 1% dari pembayaran langsung yang sudah diterima Jerman dari dana CAP (Common Agricultural Policy). CAP sendiri adalah bentuk kemitraan antara Uni Eropa dengan para petaninya.
Namun dana itu dianggap terlalu minim. Karena itu Dewan Petani Muda Eropa (CEJA) menyerukan alokasi dana cadangan 4% bagi petani muda di anggaran CAP berikutnya.
Menurut Martin Häusling, juru bicara Partai Hijau di Parlemen Eropa, dana tersebut selain untuk membantu investasi di pertanian, sebagian besarnya juga diperuntukkan untuk penerapan teknologi baru.
Baca Juga : Perusahaan Jerman Kembangkan Metode Pelabelan pada Buah dan Sayur
Di sisi lain, Buntz, sebagaimana juga banyak petani muda lainnya, dihadapkan pada beratnya investasi serta tetek bengek persyaratan administrasi yang justru kerap membingungkan.
Sebagai misal, regulasi ketat tentang pemakaian pupuk dan pestisida, program lingkungan dan perlindungan air yang berbeda-beda di setiap wilayah, kewajiban melakukan rotasi tanaman, adalah sekelumit hal yang kadang cukup kompleks untuk dipahami.
“Keterkaitan antara aspek biologis dan aspek ekonomi harus berjalan beriringan. Jika tidak, maka akan sulit mendapatkan legalitas yang dibutuhkan,” tutur Buntz.
Tak lupa ia mengkritik kurangnya kebebasan memilih.
“Politisi pintar memasang target. Dan kita, petani, menjadi boneka untuk mewujudkan target itu. Ruang kami untuk bermanuver menjadi kian terbatas,” sambungnya.
Ketergantungan finansial pada subsidi CAP juga membuat petani tidak nyaman.
“Sangat mengganggu karena sebagian besar pendapatan kami berasal dari negara. Memang, kita mendapat manfaat dari subsidi. Tanpa itu, kita bahkan tidak akan bisa bertahan. Namun kenapa tidak fokus saja pada upaya meningkatkan keuntungan petani?” keluhnya.
Baca Juga : 6 Alasan Kenapa Musti Beli Sayur & Buah dari Petani Lokal
Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi dengan memangkas rantai distribusi dan pemrosesan sehingga sebagian biaya yang dikeluarkan industri ritel dapat beralih langsung ke petani.
Alternatif lain adalah menaikkan harga jual, terutama untuk produk organik. Namun cara ini dianggap kontra produktif karena akan semakin menjauhkan konsumen.
Häusling bahkan mencemooh niatan menaikkan harga demi sekedar meningkatkan keuntungan petani.
“Selama masyarakat masih gemar membuang-buang 30% makanan yang kita produksi, tambahan beberapa sen bukanlah argumen yang bisa diterima,” tegasnya.